Wednesday, January 30, 2013

Embun Pagi 3 - Nilai Seorang Pria.

Setetes embun di pagi hari, selalu memberikan sensasi tersendiri untuk saya. Men-sejuk-kan hati dan menimbulkan beragam ide brilian dalam pikiran. Demikian juga, saya berharap bahwa tulisan yang saya beri nama Embun Pagi ini, bisa mencerahkan hati dan menimbulkan beragam ide dalam benak para pembaca.
Semuanya adalah sepenggal kisah dalam kehidupan saya.

-Bow-

Nilai Seorang Pria

Pada waktu saya masih SMP di SMPK Santa Maria II Malang, ada seorang guru saya mengatakan hal yang menarik. (Almarhum.)
Dia berkata, “Seorang pria dapat dinilai dari 3 Ta. Itu adalah, harTA, tahTA dan waniTA.”
Dia memberikan contoh dirinya sendiri, dia adalah guru yang mempunyai penghasilan pasti, rumah dan mobil. Dari segi harta, dia ada.
Dia adalah guru yang sudah diangkat menjadi pegawai negeri, dan sudah mengajar puluhan tahun di SMP swasta tersebut. Dari segi tahta, dia ada.
Dia adalah seorang pria yang mempunyai istri yang sangat setia. Dari segi wanita, dia ada.
Maka, menurut dia, lengkaplah dia sebagai seorang pria sejati.
Apa yang dia katakan itu, menurut hemat saya, adalah hal paling berharga yang pernah dia ajarkan kepada saya dalam kurun waktu 2 tahun saya bersekolah di SMP tersebut.
Dalam hal ini, harta adalah materi yang kita punya. Dalam arti lain, tolak ukur kekayaan kita. Sedangkan tahta adalah kedudukan kita di masyarakat. Jabatan, pekerjaan, bisnis maupun status sosial adalah contoh tahta dalam hal ini. Sedangkan wanita adalah pendamping dalam hidup kita sebagai seorang pria yang telah berkeluarga, atau akan berkeluarga.

Harta, tahta dan wanita, sebetulnya adalah 3 hal yang berkesinambungan. Biarlah saya bagi menjadi 3 kasus.
  1. Pria dapat menggunakan harta dan tahta untuk mendapatkan wanita.
Contoh:
Cowok meskipun tampangnya pas pas an, tapi menyandang status sebagai anak orang kaya (Tahta) dan naik mobil buatan eropa yang mewah (Harta) bisa mendapatkan wanita cantik.

  1. Pria dapat menggunakan harta dan wanita untuk mendapatkan tahta.
Contoh:
Dengan menggunakan uang, kita bisa menentukan posisi kita di masyarakat. Para Caleg (Calon Legislatif), rela menghabiskan harta ber ratus ratus juta, bahkan M, hanya untuk mendapatkan kursi di dewan perwakilan rakyat. (Contoh harta dapat digunakan untuk mencari tahta.)
Dengan menikahi seorang anak milyuner, maka seorang pria yang tidak berkecukupan pun tidak akan lagi dipandang sebelah mata. Tahta dia meningkat dari “Pemuda miskin” menjadi tahta yang baru, “Menantu Milyuner.” (Contoh wanita dapat digunakan untuk mencari tahta.)

  1. Pria dapat menggunakan tahta dan wanita untuk mendapatkan harta.
Contoh:
Setelah mendapatkan tahta di kursi dewan perwakilan rakyat, para Caleg yang terpilih tersebut dapatlah menggunakan suaranya untuk mencari harta, baik dengan cara legal maupun illegal. (Contoh tahta dapat digunakan untuk mencari harta.)
Seringkali seorang pria mendekati wanita pujaannya hanya karena perempuan tersebut orang kaya dan tidak mempunyai saudara lelaki. Sehingga jika mereka menikah kelak, otomatis perusahaan keluarga dari sang perempuan akan menjadi milik pria tersebut. (Contoh wanita dapat digunakan untuk mencari harta.)

Kebetulan, beberapa hari yang lalu saya berbincang bincang dengan orang sukses di Indonesia. Beliau adalah salah satu pemilik HBI Group, (Hotel Banjarmasin International.) yang notabene adalah salah satu one stop entertainment complex terbesar di Indonesia. Kebetulan HBI Group melakukan sebuah investasi dalam bentuk Mall terbesar di kota saya yang indah ini, dan beliau menetap di sini untuk menstabilkan keberadaan mall tersebut.
Dia berkata, “Setelah saya sukses, (Dulu belum sukses.) saya baru menyadari. Ada 3 cara untuk menjadi kaya. Yang pertama, kerja keras. Yang kedua, menikahi anak orang kaya. Yang ke tiga, menang lotere atau judi.”
Menurut beliau, dia mengambil langkah pertama karena pada waktu dia masih muda, dia belum mengetahui 2 cara yang lain. Jadi dia menghabiskan masa muda nya dengan bekerja keras. Saya pun sharing pendapat dengan dia, dan kita berdua tertawa terbahak bahak membahas “Nilai seorang pria” ini.

Saya berpikir, apakah hanya berdasarkan inilah seorang pria dinilai? Dari betapa banyak uang yang dia miliki, dari betapa besar kekuasaan dia, atau dari betapa cantik wanita yang ada di sampingnya. Apakah hanya berdasarkan ini? Jika memang iya, betapa sedihnya dunia tempat kita berada ini? Karena menurut saya, seorang pria haruslah mempunyai nilai yang lebih daripada hanya sekedar harta, tahta dan wanita.

Saya yakin, 95% dari kita menilai orang lain dari apa yang tampak di luarnya. Coba ingat ingat, berapa sering kita mendengar kalimat kalimat seperti ini?

  1. Wih, sukses ya dia. Perusahaannya banyak!! Dia pasti orang hebat!! (Menilai dari harta dan tahta.)
  2. Luar biasa, dia terpilih menjadi orang terkaya nomer….. (Menilai dari harta.)
  3. Wah, ga berani ngomong bro kalau dia.. yang punya kota.. sapa yang berani ama dia? (Menilai dari tahta.)
  4. Anjrit, cakep abis tu bini nya? Naik Mersi lagi. Wih wih wih… (Menilai dari harta dan wanita.)

Saya sering kali menjumpai kalimat seperti ini dalam hidup saya. Jika orang lain menceritakan orang lain, kalimat yang sering terdengar pun akan selalu membahas hartanya, tahtanya, maupun wanita nya.
Misalnya:

  1. Gila dia hebat lho!! Tau ga? Gedungnya lima lantai bro!! (Atau bahkan lebih).
  2. Ah dia mah hebat. Mobilnya ganti ganti terus.
  3. Gila, cewek yang dia bawa cakep cakep semua ya!!

Kalau di ingat ingat kembali, beginilah 95% orang menceritakan orang lain. Berapa banyak orang, yang membahas apa yang si A lakukan, ketimbang membahas apa yang dipunyai oleh si A?

Kebetulan saya terlahir di keluarga yang lumayan sejahtera. Dan kebetulan juga, saya di kelilingi orang orang yang termasuk dalam golongan 95% di atas tersebut. Sering kali saya menjumpai orang yang mendeskripsikan saya, bukan dari apa yang saya lakukan, melainkan dari apa yang saya punya. Jujur saja, terkadang saya bosan mendengarnya. Sesempit itu kah pikiran orang orang di sekitar saya? Kalimat kalimat seperti berikut sering kali terdengar ketika orang orang membicarakan saya:

  1. Wahh, enak ya. Pulang dari kuliah langsung di siapkan perusahaan oleh orang tuanya.
  2. Wahh, enak ya. Ga perlu susah susah cari uang. Orang tuanya udah berkecukupan.
  3. Hei bro, ngapain sih kamu kerja keras gitu? Orang udah kaya?
  4. Wahh gila man. Gonta ganti cewe terusss…

Jujur saja, saya bosan mendengar kalimat kalimat seperti itu. Saya lebih suka mendengar orang membahas perbuatan baik yang saya lakukan, ketimbang mereka membahas apa yang saya punya. Pada kenyataannya, rata rata manusia memang lebih tertarik untuk membahas materi. Seru dan bisa membuat kita berandai andai.

Para pembaca, beberapa waktu lalu saya menonton film yang menurut saya keren sekali di sebuah stasiun televisi. Judulnya Batman Begin. Seperti film film Batman yang lain, aksi heroiknya sungguh memukau, dan membuat saya berandai andai… Andaikan saya bisa melakukan apa yang dia lakukan, saya bisa membayangkan tetes haru air mata orang tua saya, dan betapa bangganya mereka kepada saya.

Pada bagian akhir film tersebut, Batman terlibat sebuah percakapan dengan seorang gadis yang pada saat itu diperankan dengan manis oleh Kattie Holmes.
Waktu itu, karena sang Batman akan berkelahi, si gadis tersebut takut tidak akan bisa berjumpa kembali dengan sang idola, maka dia menanyakan identitas Batman. Jawab Batman kepadanya, “ It’s not the mask, but what I do that defines me.”
(Artinya: Bukan topeng saya… tapi apa yang saya lakukan itulah yang menunjukkan siapa jati diri saya sebenarnya.)
Luar biasa!! Menurut saya, jawaban dia itu sangatlah keren. Sampai sampai saya menjadikan “Quotes” Batman tersebut menjadi nickname saya di Blackberry Messenger.

Kalau di kehidupan kita sehari hari, topeng Batman tersebut dapatlah menjadi simbol status sosial kita. Seperti yang saya katakan di atas, orang sering kali menilai sesamanya dari siapa mereka, apa pangkat mereka, apa yang mereka punya, dan lain lain. Bukan dari apa yang mereka perbuat.
Pejabat, walaupun korup dan sering kali bertingkah laku tak ubahnya binatang, mendapat respek penuh dari khayalak ramai.
Kuli bangunan, yang walaupun income nya pas pas an, bisa memberikan sedekah kepada orang lain yang lebih membutuhkan, atau beberapa perbuatan mulia lainnya, namun tetap tidak mendapatkan respek yang pantas dari masyarakat kita.

Coba bandingkan, berapa lama orang akan menceritakan perbuatan mulia seorang kuli bangunan, daripada seorang pejabat yang masuk rekor sebagai orang terkaya nomor ke sekian.

Serendah itukah pikiran kita? Hanya melihat dari materi materi dan lagi lagi materi?

Menurut saya, apa yang dapat di nilai dari seorang pria, jauhlah lebih dari sekadar materi yang dia punyai. Jauh lebih dari sekadar harta, tahta dan wanita yang dia punyai.
Melainkan, seberapa besar tanggung jawab dia sebagai seorang pria? Seberapa ber-integritas kah dia? Seberapa mulia kah hatinya? Apakah dia bijaksana?
Menurut saya, hal hal seperti itulah yang membangun jati diri seorang pria. Tapi sayangnya, hanya segelintir orang yang berpendapat seperti itu.

Di awal tulisan ini, saya berkata bahwa pelajaran tentang “Harta, tahta dan wanita” yang saya dapat dari almarhum guru saya tersebut, merupakan pelajaran yang sangat berharga.
Mengapa? Bukan cara menilai orang dari materi lah yang saya anggap berharga, namun hal tersebut selalu mengingatkan saya akan betapa rendahnya mental guru saya tersebut.
Dan jika ada seribu guru lain yang seperti dia, akan ada berapa puluh ribu orang kah yang akan menyerap apa yang dia ajarkan, dan akan berpikir seperti dia?
Saya sangat sedih jika membayangkan hal tersebut.

Akhirnya saya mengambil kesimpulan. Apa yang dia ajarkan tersebut, tentang harta, tahta dan wanita, sangatlah bagus jika itu kita serap sebagai motivasi kita.
Biarlah itu menjadi target kita. Namun, jalan apa yang kita pilih dalam mencapai target tersebut, bagi saya, itu menentukan nilai saya yang sesungguhnya sebagai seorang pria.

Dan sebagai penutup, sekali lagi saya berharap semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca.
Mohon maaf bila ada ejaan yang salah, ataupun jika tulisan ini tidak enak dibaca. Karena memang bukan profesi saya sebagai penulis, namun saya mencoba untuk terbiasa. Terima kasih.

Reilly Prabowo.

No comments:

Post a Comment